Kategori

BPI

ANUGERAH “TALI KASIH” BADAN PERFILMAN INDONESIA KEPADA INSAN FILM SENIOR INDONESIA PADA HFN 2023

31 Maret 2023
Oleh: Humas BPI

Estimasi dibaca dalam 6.8 menit

Dengan penghormatan dan kasih yang mendalam, Badan Perfilman Indonesia memberikan Apresiasi dan Penghargaan yang tinggi kepada 10 Insan Film Senior Indonesia dekade 70 dan 80an yang memiliki dedikasi di bidang Perfilman Nasional.

 

Karya-karya mereka memiliki kualitas nilai-nilai bangsa, kepeloporan, serta menjadi inspirasi bagi masyarakat Perfilman Indonesia.

 

Mereka adalah Insan Film yang memiliki integritas, personalitas dan kreativitas, untuk menumbuhkan, mengembangkan Perfilman. Memiliki kepedulian yang tinggi pada kemajuan bidang Perfilman yang ditekuni, dan berkontribusi pada peningkatan apresiasi di masyarakat.

 

Mereka yang telah mendedikasikan sepanjang hidupnya untuk film dan Perfilman Indonesia, membuat Film Indonesia tetap ada. Melalui karya-karyanya, menjadikan masyarakat luas bangga, memiliki Film Indonesia. Sepuluh insan film yang diberi anugerah Tali Kasih oleh BPI yaitu:


  1. Ismail Sofyan Sani. sutradara yang dikenal bertangan dingin ini lahir pada tanggal 23 Desember 1958. Berbekal talenta dan pengetahuan seni teater yang ditimba di Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1977, insan film ini merambah karier di bidang produksi film. Debutnya di tahun 1991 melambungkan namanya, karena karya Bunga-bunga Kusam (1991) terpilih sebagai sinetron terbaik pilihan pembaca tabloid Bintang, karya Jendela Rumah Kita (1991) sangat dikenal dan berkesan di hati penonton Indonesia. Begitu juga karya Gadis Manis Dalam Gerimis (1991) menjadi drama seri terbaik pada Festival Sinetron Indonesia tahun 1991. Ada banyak nilai-nilai luhur yang disebarkan melalui karya-karyanya, sebut saja misalnya pada Sorga di Telapak Kaki Ibu (1994), Potret Kami (1994), Pariban Dari bandung 2 (1995), Kasih Seluas Langit (1999), Doa dan Cinta (2002), Rubiah (2007), Al-Kautsar (2008), Dibalik Jilbab Zaskia (2009), dan begitupun pada karya film panjangnya True Heart (2013), dan banyak lainnya.     
  2. Mujiono, manajer produksi film ini lahir di Jakarta pada 11 Juli 1955. Pengalaman pertama menjadi pekerja film sebagai asisten unit dalam film Bunga Roos dari Cikembang (1975) di bawah arahan sutradara Fred Young. Setelah kiprah di film pertamanya, dia meneruskan karier sebagai asisten unit dalam banyak produksi film, diantaranya Putri Solo (1975), Widuri (1976), Letnan Harahap (1977), Selimut Cinta (1978), dan Pelangi-pelangi (1979). Pada tahun 1980, karier-nya meningkat menjadi Unit Manager pada film Residivis (1980), Preman-preman (1980), Kristal-kristal Cinta (1981), Nyai Roro Kidul (1981), Samson dan Delilah (1987). Pada tahun 1988, karier-nya kembali meningkat menjadi Pimpinan Produksi (Pimpro), atau disebut juga manajer produksi pada film Taksiku (1988), dan Pelangi di Nusa Laut (1989-1991). Selain film layar lebar, dia juga terlibat sebagai manajer produksi untuk beragam produksi iklan komersial, film dokumenter, dan produksi iklan layanan masyarakat. Kecintaan-nya terhadap profesi dan kepedulian kepada teman sejawat, pada tahun 2017 dia mendirikan Paguyuban Karyawan Film dan Televisi Senior, dan pada 28 Maret 2022 mendirikan Yayasan Sehati Seprofesi sebagai bentuk kepedulian kepada para pekerja film dan televisi senior di Indonesia.    
  3. Inge Rotinsulu, insan film ini lahir di Jakarta pada 11 Desember 1953. Kecintaan-nya akan keindahan riasan wajah membawanya ke dunia perfilman menjadi seorang penata rias, atau yang lebih dikenal dengan istilah make-up artist. Dia memiliki peran penting dalam membantu menciptakan dan menghidupkan karakter dalam cerita film. Membuat penonton lebih mudah memahami karakter dan terlibat dalam cerita. Karya-karya riasan-nya memberikan warna dan dimensi pada banyak film, diantaranya dapat dilihat dalam film Mana Tahan (1976) dengan sutradara Nawi Ismail, Inem Pelayan Sexy (1976) besutan sutradara Nya Abbas Akub, Cinderella (1978) karya sutradara Willy Wilianto, Janur Kuning (1979) atas arahan sutradara Alam Surawidjaja, Kabut Sutra Ungu (1979) dan Bukan Sandiwara (1980) di bawah arahan sutradara Sjuman Djaya, Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) arahan sutradara Chaerul Umam, dan banyak lainnya. Kariernya tak hanya di era 70 dan 80an. Pada dekade 90an, penata rias film ini masih terlibat di banyak film, di antaranya; Bunga Desa (1992), Putri Kuntilanak (1993), Opera Jakarta (1994), Titipan Illahi (1996), dan Cecep (1997).                                                              
  4. Firman Hadi, penata artistik film bertanggung jawab untuk merancang dan mengkoordinasikan elemen-elemen visual dalam produksi film. Membantu sutradara menciptakan dunia film yang konsisten dan menarik bagi penonton, yang memungkinkan penonton terlibat dalam cerita dan emosi yang ditampilkan. Orang film lebih akrab memanggilnya Cak Man, lahir di Surabaya pada tanggal 15 Maret 1951. Karier di bidang artistik film dimulai sebagai property-man di banyak film, diantaranya Gita Cinta dari SMA (1979), Guruku Cantik Sekali (1979), Roman Picisan (1980), Perkawinan 83 (1982). Sebagai set-decorator dalam produksi film Pondok Cinta (1985) di bawah arahan Wim Umboh, Permainan di Balik Tirai (1988), Rimba Panas (1988), dan lainnya. Sebagai Penata Artistik, diantaranya pada film Mentari dari Kurau (2014). Cak Man juga terlibat sebagai penata artistik di banyak produksi iklan komersial, dan beberapa program televisi. Selain tetap produktif berkarya, Cak Man juga aktif dalam berbagai upaya pengembangan perfilman Indonesia, baik itu menjadi pengurus organisasi profesi bidang film, upaya perbaikan mutu perfilman melalui, dan sejak tahun 2011 menjadi sekretaris yayasan yang peduli akan kesejahteraan pekerja film dan televisi.                       
  5. Achiel Nasrun, karya film dengan gaya “anak muda”, agaknya merupakan keahlian tersendiri dari sutradara ini. Lihat saja karya-karyanya yang terkenal, seperti film Lupus: Tangkaplah Daku Kau Kujitak (1987), hingga Lupus V: Ich…Serem (1991), Anak-anak Gass dalam Elegi Buat Nana (1988), Si Roy (1989), Ricky: Nakalnya Anak Muda (1990), Olga dan Sepatu Roda (1991). Sineas ini lahir di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1950. Memulai karier di bidang film pada tahun 1971 sebagai asisten penata artistik dalam film Rina (1971) di bawah arahan sutradara Aboebakar Djoenaidi, Atheis (1974) arahan sutradara Sjuman Djaya, dan Perkawinan dalam Semusim (1976) di bawah arahan sutradara Teguh Karya. Bekerja dengan banyak sutradara mumpuni semakin mengasah talenta yang dimiliki Achiel, hingga tahun 1981 menyutradarai film untuk pertama kalinya pada film Dalam Kabut Badai (1981) dengan pemeran utama Billy Argo dan Ita Mustafa. Sukses dengan film pertama, sutradara ini semakin produktif menghasilkan karya-karya film yang ditunggu oleh penontonnya, diantaranya, Tapak-tapak Kaki Wolter Monginsidi (1982) yang menjadikan bintangnya Roy Marten sebagai nominasi Pemeran Utama Pria Terbaik pada FFI 1983, film Kulihat Cinta Dimatanya (1985), dan banyak lagi yang lainnya.                                                     
  6. George Kamarullah, sineas segudang prestasi ini lahir di Ambon, Maluku pada tanggal 30 Juli 1949. Menapakkan jejak di dunia perfilman dalam film Ranjang Pengantin (1974) hasil besutan sutradara Teguh Karya. Sebagai editor film, sineas ini tercatat beberapa kali meraih Piala Citra sebagai Penyunting Gambar Terbaik seperti pada film Usia 18 (1980), Di Balik Kelambu (1982), dan Ponirah Terpidana (1983). Sebagai seorang sinematografer, penghargaan Piala Citra pertama George diraih pada FFI 1985 dalam film Doea Tanda Mata (1984). Pada Festival Film Asia Pasifik pada tahun 1986, film Doea Tanda Mata juga dinobatkan sebagai film dengan Fotografi Terbaik. Prestasi selanjutnya sebagai penata sinematografi terbaik diraih pada FFI 1986 dalam film Ibunda (1986), dan dalam film Tjoet Nja Dhien (1986) pada FFI 1988 yang juga mendapatkan penghargaan sebagai film dengan Fotografi Terpuji pada Festival Film Bandung di tahun 1989. Setelah tidak lagi aktif sebagai seorang sinematografer, penerima anugerah Lifetime Achievement FFI 2015 tetap mengabdikan dirinya untuk perkembangan dunia film dan televisi. Pada tahun 2021, Kementerian Ketenagakerjaan RI memberikan anugerah kepada George sebagai Pekerja Film Berdedikasi Sepanjang Masa.                                            
  7. MT. Risyaf, sutradara ‘beken’ ini lahir di Pemangkat, Kalimantan Barat pada tanggal 7 Juni 1947. Memulai karier di bidang perfilman sebagai pencatat adegan dan asisten sutradara pada kurun tahun 1974-1979. Debut sebagai sutradara dan penulis skenario dimulai pada film Kembang Semusim (1980) yang meraih Piala Citra untuk kategori Pemeran Wanita Terbaik pada FFI tahun 1981. Beberapa karya film terbaik sutradara ini yang sangat berkesan bagi khalayak penonton film Indonesia antara lain; Hati yang Perawan (1984), Naga Bonar (1986) yang dibintangi oleh Deddy Mizwar dan Nurul Arifin begitu melekat dalam ingatan penonton film hingga saat ini, Sepondok Dua Cinta (1990), dan Bawalah Aku Pergi (1982) yang membawanya sebagai peraih nominasi Sutradara Terbaik pada FFI tahun 1982. Selain sukses di layar bioskop, karya-karya sineas ini juga mendapatkan tempat tersendiri di hati penonton layar kaca, seperti karya Serial Abu Nawas (1993-1994), Bias-Bias Kehidupan (1994), Masih Ada Kapal ke Padang (1994-1995), Numpang Parkir (1995), dan Antara Jakarta dan Perth (1995-1996), Jenderal Naga Bonar (1996), Ngantri ke Sorga the Series (2015), dan Jawara (2016).            
  8. Bobby Sandi, sebagai sutradara, insan film ini berhasil menyampaikan edukasi tentang budi pekerti, moral, tata susila, dan perjuangan hidup yang pantang menyerah melalui film yang dikemas apik dalam genre drama, bertema percintaan. Dia lahir di Bangka, 23 Maret 1940. Film pertama yang disutradarai-nya adalah Kehormatan (1974) yang diperankan oleh pasangan bintang Widyawati dan Sophan Sophiaan. Menyusul film keduanya Gaun Pengantin (1974) diproduksi di tahun dan pemeran bintang yang sama. Hampir seluruh film hasil besutan sutradara ini mendapat sambutan yang memuaskan dan berkesan di hati penonton. Beberapa diantara karya terbaik-nya adalah Cinta Dibalik Noda (1984) yang mengantarkan pemeran wanitanya, Meriam Bellina menjadi pemenang FFI 1984 sebagai Pemeran Wanita Terbaik; Amalia, S.H. (1981) yang dibintangi oleh Widyawati sebagai nominasi Pemeran Utama Wanita Terbaik pada FFI 1983, Kulihat Cinta Dimatanya (1985), Ketika Musim Semi Tiba (1986) yang dibintangi oleh Paramitha Rusady dan Rico Tampatty, dan Selamat Tinggal Jeanette (1989) dengan Ria Irawan sebagai pemeran pembantu wanita yang berhasil meraih Piala Citra sebagai Pemeran Pembantu Wanita Terbaik pada FFI 1988.                                              
  9. Ida Farida, sutradara kawakan ini lahir di Rangkasbitung, Banten pada tanggal 5 Mei 1939. Berkiprah di dunia perfilman untuk pertama kalinya pada tahun 1974 sebagai script-girl untuk film Melawan Badai yang disutradarai oleh Sofia W.D. Karier-nya kemudian meningkat sebagai asisten sutradara pada film Jangan Menangis Mama (1977), dan menjadi sutradara untuk pertama kalinya pada tahun 1979 dalam film Guruku Cantik Sekali. Selain sebagai sutradara, ia juga dikenal sebagai penulis skenario dan pemeran film. Agaknya, talenta menulis cerita pendek yang telah digeluti sejak tahun 1953 menjadikan hampir di semua film yang ia kerjakan, merangkap sebagai penulis skenario. Beberapa penghargaan yang diraih insan film ini diantaranya, pada tahun 1989 meraih Piala Citra sebagai Penulis Skenario Terbaik, sekaligus sebagai nominasi Sutradara Terbaik dan Cerita Asli Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) dalam film Semua Sayang Kamu (1989). Pada FFI tahun 1992 sebagai nominasi untuk kategori Cerita Asli Untuk Film dalam karya yang berjudul Kuberikan Segalanya (1992). Tak hanya di layar bioskop, karya-karya terbaiknya juga tampil mengesankan di layar kaca. Karya film yang tayang di televisi diantaranya karya sinetron Aku Mau Hidup (1994), menghasilkan Piala Vidia untuk Pemeran Wanita Terbaik pada Festival Sinetron Indonesia (FSI) tahun 1994.                                        
  10. Gerzon R. Ayawaila, dokumenteris dan ahli perfilman ini lahir di Jakarta pada tanggal 25 September 1957. Setelah menyelesaikan program D3 film di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LKPJ) pada tahun 1977-1980, dia melanjutkan pendidikan di Nederlandse Film Academic: Amsterdam-Belanda pada tahun 1981-1982, dan di Culture Antropologie/Niet Westerse Sosiologie: Universiteit van Amsterdam, Belanda 1983-1988. Sekembalinya ke Indonesia setelah sempat bekerja sebagai sutradara dan penulis skenario di Belanda, sineas ini kembali melanjutkan studi film tingkat Sarjana (S1) di Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1996-1998, Studi Magister (S2) di Institut Seni Indonesia Surakarta pada tahun 2007-2009, dan menempuh pendidikan Doktoral (S3) di Institut Seni Indonesia Surakarta pada tahun 2016-2021. Selain sebagai kreator film dokumenter, lebih dari separuh usianya didedikasikan untuk pendidikan perfilman di Indonesia. Terlibat aktif di banyak forum pendidikan film, menulis buku film dokumenter, aktif sebagai pendidik di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Terlibat aktif dalam penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang produksi film, dan aktif sebagai asesor kompetensi bidang film. Pada Tahun 2015 bersama beberapa aktivis pendidikan film, mendirikan Perkumpulan Program Studi Film dan Televisi Indonesia, yang hingga kini Gerzon menjadi Ketua Umum, untuk periode yang kedua.