Kategori

Khasanah

PERKENALAN KEPADA SINEMA INDONESIA

20 April 2017
Oleh: Tito Imanda

Estimasi dibaca dalam 5.9 menit

Sejak film pertama yang tercatat dibuat pada tahun 1926, Loetoeng Kasaroeng, sinema Indonesia saat ini telah berkembang sebagai sebuah sektor komersial. Saat ini perilman Indonesia sedang membangun fondasi yang lebih kuat bagi fungsinya sebagai ruang publik dan sebagai sebuah medium eksperimen dan ekspresi artistik. Seperti di banyak tempat di dunia, perkembangan perfilman Indonesia menjadi bagian dari perkembangan ekonomi-politik, kemajuan teknologi (yang mempengaruhi cara pembuatan maupun cara mengkonsumsi film), semakin terbukanya akses masyarakat (misalnya dengan terbentuknya komunitas-komunitas yang memproduksi, menonton, dan mengkaji film, atau dengan ijin-ijin baru sekolah film), serta semakin tingginya tingkat melek media masyarakat. 

Di sisi komersial, ada berita baik dan buruk. Industri film Indonesia –yang mungkin ukurannya masih industri rumahan jika dibandingkan dengan skala industri Hollywood– membuktikan daya saing mereka dengan menghasilkan film-film bioskop yang raihan penontonnya mampu bersaing dengan film impor di tahun 2016. Jika jumlah jumlah film bioskop Indonesia di tahun 2015 adalah 115 dengan pencapaian penonton adalah 16,2 juta, maka di tahun 2016 yang jumlah filmnya 124, jumlah penontonnya berlipat menjadi 34,5 juta penonton.   Penghasilan film Warkop Reborn yang mencapai 6,8 juta penonton adalah angka yang fantastis karena meninggalkan jauh rekor yang sudah bertahan 8 tahun, Laskar Pelangi, yang mencapai 4,7 juta penonton.  Bagaimana pun, harus juga dicatat bahwa sebagian besar film yang diproduksi belum bisa mengembalikan modal hanya dari pemasukan bioskop. Total penonton dari 15 film dengan penonton terbanyak di tahun 2016 adalah 30,3 juta penonton (rata-rata 2 juta penonton per film) atau 87% dari seluruh penonton film Indonesia. Ini berarti bagi 109 judul film yang lain rata-rata jumlah penontonnya hanya 38 ribu saja.  

Di luar kompetisi ini, perfilman Indonesia masih terlalu terpusat. Kita masih memiliki masalah mendistribusikan kegiatan produksi dan konsumsi film, dari kawasan Jabodetabek ke daerah-daerah lain. Hampir semua perusahaan film bioskop komersial beralamat di Jakarta dan sekitarnya, dan secara kasar 43% bioskop berada di daerah itu (sementara ada 33 propinsi di seluruh Indonesia). Ketidak-seimbangan ini memang memang juga menjadi representasi ketimpangan pemerataan ekonomi negara secara umum. Dengan giatnya pembangunan bioskop baru saat ini, kita bisa berharap komposisi ini akan semakin berimbang di masa depan. Ketimpangan ini juga mempengaruhi gairah pembuat film bioskop di daerah. Beberapa film karya pembuat film lokal, dengan bahasa lokal, membicarakan masalah lokal, dan menghibur dengan cara lokal mengalami kesulitan menjumpai pasarnya karena keterbatasan outlet lokal. Semangat pembuat film lokal ini tentu akan semakin baik jika medapat dukungan dari sumber mana pun, tapi terutama dengan kebijakan pemerintah daerah.

Hal lain yang harus dicatat dari sisi komersial film adalah kebutuhan untuk menggali kemungkinan-kemungkinan pasar yang baru. Kesadaran bahwa festival film internasional juga merupakan pasar tempat bertemunya penjual dan pembeli, masih harus disadari oleh pembuat film. Selain itu, industri harus mulai menghitung film pendek, dokumenter, animasi, dan film eksperimental sebagai produk-produk potensial untuk diproduksi secara berkelanjutan, menambahkan mereka kepada daftar yang sudah ada, yaitu film fiksi panjang bioskop, film serial televisi, dan film iklan. Pandangan yang melihat bahwa film pendek hanyalah untuk pemula, animasi pasti berbiaya sangat mahal, film dokumenter adalah kegiatan aktivisme, atau film eksperimental merupakan karya seniman sinting, bisa merusak dan tidak produktif. Ada kebutuhan untuk melihat semua pilihan ini memiliki spesifikasi penonton, cara menonton, dan kemungkinan cara pemasukan finansial yang berbeda, atau bahwa masing-masingnya membutuhkan eksplorasi dan pemahaman tersendiri menuju pelaksanaannya secara berkelanjutan. Selain itu, ada kebutuhan akan eksplorasi cara bertutur baru (misalnya kanal film di internet, yang mungkin malah secara alamiah dikuasai oleh generasi milenial). Semua ini menuntut para pemangku kepentingan di Indonesia untuk mendefinisikan ulang apa itu film, bagaimana cara memproduksi dan mengkonsumsinya, serta siapa penonton dan pembuat film yang paling mungkin bertemu dan menjalin reaksi kimia di antara mereka. Catatan lain adalah kandungan pernyataan sosial yang spesifik juga memiliki pasar penonton khusus, seperti beberapa film Islam yang mengandalkan promosi mereka kepada kelompok-kelompok pengajian. Anggy Umbara, sutradara Warkop Reborn, juga membuat film dengan pernyataan dakwah yang kuat, seperti filmnya 3 Alif Lam Mim. Dia percaya bahwa film semacam ini seharusnya juga mengeksplorasi pasar yang cocok di luar negeri.  

Di luar kebutuhan komersial, penonton dan orang film secara sadar memenuhi fungsi film sebagai ruang publik yang mampu memediasi pernyataan-pernyataan sosial, politik, dan kebudayaan di negara yang demokratis.  Film-film fiksi panjang, pendek, film dokumenter, bahkan film animasi semakin leluasa menjadi ajang diskusi mengenai hal-hal yang penting untuk dibicarakan oleh sesama warga negara yang peduli. Situasi ini spesial, menimbang hingga reformasi 1998 film sangat terkekang secara politik. Di satu sisi, tentu kebebasan ini belum bisa dibandingkan dengan kebebasan di negara yang lebih lama mengenal demokrasi, dan kita masih mendengar film yang ditolak seluruhnya untuk beredar dengan alasan-alasan yang menganggap anggota masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk bernalar dan berdialog. Di sisi lain, jumlah film-film laris namun memiliki pernyataan sosial ternyata cukup signifikan. Daftar sepuluh besar film Indonesia dengan angka box office tertinggi menunjukkan hal ini. Laskar Pelangi di urutan 2 dengan 4,7 juta penonton dengan pernyataan soal kesempatan yang sama dalam pendidikan, atau Ayat-Ayat Cinta di urutan 5 dengan 3,5 juta penonton menawarkan pesan keagamaan, menandai kecenderungan ini. Film-film lain dalam sepuluh besar teratas ini juga membanggakan kandungan pernyataan sosial dalam promosinya, walaupun filmnya merupakan film komedi atau drama percintaan.  

Di sisi lain, dorongan terhadap keberagaman tema dan pernyataan dalam film juga harus dilakukan dengan mengerahkan potensi kebudayaan daerah, meyakinkan pemerintah daerah, dengan bonus argumen untuk mereka, bahwa kegiatan film akan menguntungkan secara ekonomi. Untuk itu proses perijinan satu pintu di tingkat kabupaten menjadi tantangan untuk menarik investasi produksi film di daerah. Sementara itu, pembuat film daerah yang seringkali menghadapi kesulitan memasukkan film mereka ke jaringan bioskop nasional yang terpusat di Jakarta, biasanya sudah memiliki kandungan lokal apa pun bentuk film yang mereka pilih. Kesuksesan film Uang Panai dan Silariang mendapat sambutan penonton di Makassar,  atau bagaimana keberhasilan para pembuat film Yogyakarta seperti Ifa Isfansyah, Joseph Anggi Noen, Ismail Basbeth, Eddie Cahyono atau Ajish Dibyo di festival-festival film lokal dan internasional lalu membawa masuk kepercayaan produser dan investor dari luar daerahnya, menunjukkan potensi film daerah masih lebih besar dari infrastruktur yang telah tersedia di sana. Berbagai festival film dengan tema dan cakupan yang berbeda di daerah, dengan submisi ribuan film, menekankan potensi ini. Komunitas dan pelatihan membuat dan mengapresiasi film semakin banyak dilakukan, sekolah kejuruan film dan penyiaran semakin mudah ditemui. Seiring dengan ijin-ijin sekolah film baru di tingkat perguruan tinggi di Yogyakarta, Surakarta, Makassar, Padangpanjang, Surabaya, Bandung, Denpasar, dan Jember, harus ada yang dilakukan untuk melepas sekat-sekat ruang pemutaran dan perjumpaan film dengan penontonnya.

Sementara itu, pembuat film dengan biaya produksi lebih murah memiliki beban finansial lebih ringan dan akan lebih leluasa membuat pernyataan sosial melalui film mereka. Film fiksi pendek lebih cepat ditonton dan dicerna, film dokumenter bisa menggali lebih dalam topik dan pernyataan yang dibuatnya, beberapa kali membawa topik diskusi publik ke permukaan seperti perjuangan petani melawan rencana pendirian pabrik semen di daerahnya, atau meningkatnya budaya kekerasan di sekitar kita. Pembuat film panjang bioskop masih banyak yang membuat film pendek dan dokumenter; seperti Nia Dinata dan Shanty Harmayn yang masih selalu rajin memproduksi film dokumenter, atau Joko Anwar dan Riri Riza yang membuat film pendek di antara produksi film-film panjang mereka. Pada akhirnya, festival-festival film di daerah yang banyak berfokus kepada film pendek, documenter, dan fil eksperimental, menjadi pesta dalam arti yang sebenarnya ketika para pembuat film ini berkumpul, merayakan karya mereka dan bertukar informasi mengenai film, sumber daya dan pengalaman. Festival film anti korupsi membicarakan cara melawan korupsi, festival film lingkungan menciptakan diskusi yang membahas pemeliharaan lingkungan berkelanjutan, atau Festival Film Purbalingga menyemangati pembuat film untuk menggunakan dialek dan kebudayaan Banyumas.

Eksplorasi medium dan cara bertutur baru, topik dan pernyataan lokal, serta estetika baru adalah kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidup perfilman. Seperti bangsa ini, film juga membutuhkan keberagaman. Teknologi, estetika, cara bercerita dan formula yang tidak berkembang membuat film gagal menyesuaikan diri dengan perubahan kebutuhan penonton. Smua ini, ditambah dengan keenganan untuk terhubung dengan dunia nyata, akan menghilangkan potensi film untuk mendiskusikan topik-topik penting, dan pada akhirnya gagal memberdayakan pembuat film maupun penontonnya. Kegagalan memahami kanal-kanal komunikasi baru dan menerima keberadaan kelompok-kelompok penonton yang baru akan –bagi pembuat film yang ingin mengubah dunia – membuang kesempatan untuk terhubung dan berdialog mengenai isu penting, dan –bagi industri– berarti kehilangan potensi pemasukan yang beragam. Kurangnya perhatian terhadap tema dan genre film anak, bukan hanya menghilangkan kesempatan untuk ikut membentuk masa depan tapi juga akan menciptakan generasi yang asing dengan film dan bioskop lokal. 

----------

(1)  http://lifestyle.bisnis.com/read/20170114/254/619519/film-indonesia-2016-jumlah-penonton-capai-345-juta-

(2)  Data penonton 2007-2017 dari filmindonesia.or.id http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2007-2017#.WPWFt1N95D0

(3)  Op cit, dan data penonton 2016 dari filmindonesia.or.id http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2016#.WPV-zFN95D0

(4)  Diambil dari resume diskusi acara Film Forum, Filartc 2017, memperingati Hari Film Nasional, 31 Maret 2017, di PFN, Jakarta.

(5)  Misalnya, pada tahun 2005, dua kritikus film Indonesia, Eric Sasono dan Ekky Imanjaya, terlibat dalam polemik soal keseimbangan yang ideal antara orientasi untuk pernyataan sosial dan motivasi komersial (Harian Kompas, 17 Juli 2005, dan laman Layar Perak, 2005), dengan kesimpulan bahwa industri film baru saat itu memang masih mencari-cari identitas dan kebutuhannya.

(6)  https://kumparan.com/caroline-pramantie/menengok-10-film-indonesia-terlaris-dalam-10-tahun-terakhir

(7)  http://www.bintang.com/celeb/read/2882157/rahasia-kesuksesan-film-dari-makassar-uang-panai-dan-silariang